6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah
Sahabat Hikmah...
Alhamdulillah, bulan Dzulhijah telah menghampiri kita.
Kita bisa mendekatkan diri kepada Sang Penguasa Alam...
Beribadah, bertaubat dan berdoa semoga bencana-bencana segera berakhir.
Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dzulhijah
Adapun keutamaan beramal di sepuluh hari pertama Dzulhijah diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berikut,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ
الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ
فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal
sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang
dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)."
Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun
tidak ada yang kembali satupun."[1]
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan 10 hari pertama Dzulhijah adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah
menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang
disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para
ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh
hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan
untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan
sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa
tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan
selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Lantas manakah yang lebih utama, apakah 10 hari pertama Dzulhijah ataukah 10 malam terakhir bulan Ramadhan?
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zaadul Ma’ad memberikan penjelasan yang
bagus tentang masalah ini. Beliau rahimahullah berkata, “Sepuluh malam
terakhir bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama dari
bulan Dzulhijjah. Dan sepuluh hari pertama Dzulhijah lebih utama dari
sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dari penjelasan keutamaan seperti ini,
hilanglah kerancuan yang ada. Jelaslah bahwa sepuluh hari terakhir
Ramadhan lebih utama ditinjau dari malamnya. Sedangkan sepuluh hari
pertama Dzulhijah lebih utama ditinjau dari hari (siangnya) karena di
dalamnya terdapat hari nahr (qurban), hari ‘Arofah dan terdapat hari
tarwiyah (8 Dzulhijjah).”[6]
Sebagian ulama mengatakan bahwa
amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun.
Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah
sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat
fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan
beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits
Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[7] Mujahid mengatakan, “Amalan di
sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[8]
6 Amalan Utama di Awal Dzulhijah
Pertama: Puasa
Disunnahkan untuk memperbanyak puasa dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijah
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk beramal
sholeh ketika itu dan puasa adalah sebaik-baiknya amalan sholeh.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ
وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah,
pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[9],
...”[10]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama
sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al
Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan
berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas
ulama. [11]
Kedua: Takbir dan Dzikir
Yang termasuk
amalan sholeh juga adalah bertakbir, bertahlil, bertasbih, bertahmid,
beristighfar, dan memperbanyak do’a. Disunnahkan untuk mengangkat
(mengeraskan) suara ketika bertakbir di pasar, jalan-jalan, masjid dan
tempat-tempat lainnya.
Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan,
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِى أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
أَيَّامُ الْعَشْرِ ، وَالأَيَّامُ الْمَعْدُودَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ .
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِى
أَيَّامِ الْعَشْرِ يُكَبِّرَانِ ، وَيُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيرِهِمَا .
وَكَبَّرَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِىٍّ خَلْفَ النَّافِلَةِ .
Ibnu
‘Abbas berkata, “Berdzikirlah kalian pada Allah di hari-hari yang
ditentukan yaitu 10 hari pertama Dzulhijah dan juga pada hari-hari
tasyriq.” Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah pernah keluar ke pasar pada
sepuluh hari pertama Dzulhijah, lalu mereka bertakbir, lantas manusia
pun ikut bertakbir. Muhammad bin ‘Ali pun bertakbir setelah shalat
sunnah.[12]
Catatan:
Perlu diketahui bahwa takbir
itu ada dua macam, yaitu takbir muthlaq (tanpa dikaitkan dengan waktu
tertentu) dan takbir muqoyyad (dikaitkan dengan waktu tertentu).
Takbir yang dimaksudkan dalam penjelasan di atas adalah sifatnya
muthlaq, artinya tidak dikaitkan pada waktu dan tempat tertentu. Jadi
boleh dilakukan di pasar, masjid, dan saat berjalan. Takbir tersebut
dilakukan dengan mengeraskan suara khusus bagi laki-laki.
Sedangkan ada juga takbir yang sifatnya muqoyyad, artinya dikaitkan
dengan waktu tertentu yaitu dilakukan setelah shalat wajib
berjama’ah[13].
Takbir muqoyyad bagi orang yang tidak berhaji
dilakukan mulai dari shalat Shubuh pada hari ‘Arofah (9 Dzulhijah)
hingga waktu ‘Ashar pada hari tasyriq yang terakhir. Adapun bagi orang
yang berhaji dimulai dari shalat Zhuhur hari Nahr (10 Dzulhijah) hingga
hari tasyriq yang terakhir.
Cara bertakbir adalah dengan
ucapan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah, Wallahu Akbar,
Allahu Akbar, Walillahil Hamd.
Ketiga: Menunaikan Haji dan Umroh
Yang paling afdhol ditunaikan di sepuluh hari pertama Dzulhijah adalah menunaikan haji ke Baitullah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ
قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ «
جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ
مَبْرُورٌ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,
“Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi,
“Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?”
“Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari
no. 1519)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ
نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling
afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling
utama (afdhol) adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
““Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan
tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika
dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Keempat: Memperbanyak Amalan Sholeh
Sebagaimana keutamaan hadits Ibnu ‘Abbas yang kami sebutkan di awal
tulisan, dari situ menunjukkan dianjurkannya memperbanyak amalan sunnah
seperti shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan beramar ma’ruf nahi
mungkar.
Kelima: Berqurban
Di hari Nahr (10
Dzulhijah) dan hari tasyriq disunnahkan untuk berqurban sebagaimana ini
adalah ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
Menyembelih qurban
adalah suatu ibadah yang mulia dan bentuk pendekatan diri pada Allah,
bahkan seringkali ibadah qurban digandengkan dengan ibadah shalat. Allah
Ta’ala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al An’am: 162).
Di antara tafsiran an nusuk adalah sembelihan, sebagaimana pendapat
Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Mujahid dan Ibnu Qutaibah. Az Zajaj
mengatakan bahwa bahwa makna an nusuk adalah segala sesuatu yang
mendekatkan diri pada Allah ‘azza wa jalla, namun umumnya digunakan
untuk sembelihan.
Ketahuilah, yang ingin dicapai dari ibadah
qurban adalah keikhlasan dan ketakwaan, dan bukan hanya daging atau
darahnya. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Ingatlah, bukanlah yang
dimaksudkan hanyalah menyembelih saja dan yang Allah harap bukanlah
daging dan darah qurban tersebut karena Allah tidaklah butuh pada segala
sesuatu dan dialah yang pantas diagung-agungkan. Yang Allah harapkan
dari qurban tersebut adalah keikhlasan, ihtisab (selalu mengharap-harap
pahala dari-Nya) dan niat yang sholih. Oleh karena itu, Allah katakan
(yang artinya), “ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai ridho-Nya”.
Inilah yang seharusnya menjadi motivasi ketika seseorang berqurban yaitu
ikhlas, bukan riya’ atau berbangga dengan harta yang dimiliki, dan
bukan pula menjalankannya karena sudah jadi rutinitas tahunan
Keenam: Bertaubat
Termasuk yang ditekankan pula di awal Dzulhijah adalah bertaubat dari
berbagai dosa dan maksiat serta meninggalkan tindak zholim terhadap
sesama.
Setiap hamba pasti pernah terjerumus dalam dosa bahkan
juga dosa besar. Mungkin saja seseorang sudah terjerumus dalam kelamnya
zina, membunuh orang lain tanpa jalan yang benar, pernah menegak arak
(khomr), atau seringnya meninggalkan shalat lima waktu padahal
meninggalkan satu shalat saja termasuk dosa besar berdasarkan
kesepakatan para ulama. Inilah dosa besar yang mungkin saja di antara
kita pernah terjerumus di dalamnya. Lalu masihkah terbuka pintu taubat?
Tentu saja pintu taubat masih terbuka, ampunan Allah begitu luas.
Sebuah hadits yang patut jadi renungan, Anas bin Malik menceritakan
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta'ala
berfirman,
قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا
دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ
أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ
ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ
إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى
لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
”Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap
pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai
anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu
akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya
seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan
tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu
dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi no. 3540. Abu Isa
mengatakan bahwa hadits ini ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih)
Jika Bertaubat, Setiap Dosa Akan Diampuni
Hadits di atas menunjukkan bahwa Allah benar-benar Maha Pengampun.
Setiap dosa –baik dosa kecil, dosa besar, dosa syirik bahkan dosa
kekufuran- bisa diampuni selama seseorang bertaubat sebelum datangnya
kematian walaupun dosa itu sepenuh bumi. Hal ini dikuatkan pula pada
ayat dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَا
عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ
رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang
malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.
Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az
Zumar: 53).
Ibnu Katsir mengatakan, ”Ayat yang mulia ini
berisi seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat baik kekafiran
dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ayat ini mengabarkan
bahwa Allah akan mengampuni seluruh dosa bagi siapa yang ingin bertaubat
dari dosa-dosa tersebut, walaupun dosa tersebut amat banyak, bagai buih
di lautan. ”[Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 12/138-139,
Muassasah Qurthubah]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah akan
mengampuni setiap dosa walaupun itu dosa kekufuran, kesyirikan, dan dosa
besar (seperti zina, membunuh dan minum minuman keras). Sebagaimana
Ibnu Katsir mengatakan, ”Berbagai hadits menunjukkan bahwa Allah
mengampuni setiap dosa (termasuk pula kesyirikan) jika seseorang
bertaubat. Janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun
begitu banyak dosa yang ia lakukan karena pintu taubat dan rahmat Allah
begitu luas.” [Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 12/140]
****
Intinya, keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa
saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut
bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[14]
Sudah seharusnya setiap muslim menyibukkan diri di hari tersebut
(sepuluh hari pertama Dzulhijah) dengan melakukan ketaatan pada Allah,
dengan melakukan amalan wajib, dan menjauhi larangan Allah.[15]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
(rumaysho.com)
[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757,
Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H, hal. 923.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, Al Maktab Al Islami, cetakan ketiga, 1404, 9/103-104.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H, hal. 159.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H, hal. 469.
[6] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-14, 1407, 1/35.
[7] Lathoif Al Ma’arif, 469.
[8] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[9] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[10] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[12] Dikeluarkan oleh Bukhari tanpa sanad (mu’allaq), pada Bab “Keutamaan beramal di hari tasyriq”.
[13] Syaikh Hammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Al Hammad, guru kami
dalam Majelis di Masjid Kabir KSU, dalam Khutbah Jum’at (28/11/1431 H)
mengatakan bahwa takbir muqoyyad setelah shalat diucapkan setelah
membaca istighfar sebanyak tiga kali seusai shalat. Namun kami belum
menemukan dasar (dalil) dari hal ini. Dengan catatan, takbir ini bukan
dilakukan secara jama'i (berjama'ah) sebagaimana kelakukan sebagian
orang. Wallahu a'lam.
[14] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, Dar Al Imam Ahmad, hal. 116, 119-121.
[15] Point-point yang ada kami kembangkan dari risalah mungil “Ashru
Dzilhijjah” yang dikumpulkan oleh Abu ‘Abdil ‘Aziz Muhammad bin ‘Ibrahim
Al Muqoyyad.
Credit : Strawberry @Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar