Rani,
sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan
memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya
sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang
akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip
seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim
mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht ,
Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan
pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf
diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah
kebahagiaan mereka.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu,
berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris
tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara
ke negara lain.
Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si
Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? '' Dengan sigap Rani
menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything
is OK!'' Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian
anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani
tinggal mengontrol jadwal Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak
yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya
selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang
kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik
pesawat terbang, dan uang yang banyak.
''Contohlah ayah-bunda
Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani,
berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif
berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan
permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian
anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang
adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya.
Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya
mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya
kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya
super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada
keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor,
entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda
mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik
waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif
sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya.
Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby
sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya
cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.
''Bunda, mandikan aku!'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani
dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa
pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk,
akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya
dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan
kejang-kejang. Sekarang di Emergency.'' Setengah terbang, saya ngebut
ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si
malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika
diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat.
Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan
putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan
komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang
itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku.
''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah
yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha
menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad
si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali
Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan .
Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah
saatnya, ya dia pergi juga kan ?'' Saya diam saja.
Rasanya Rani
memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak
bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah
pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat.
Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas
tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis,
lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan
Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..''
Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan
tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang
menaungi jasad Alif.
-- Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
-- Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.
-- Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan
ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang
disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja
dulu.
-- Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa
pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa
mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.
-- Pelajaran yang sangat menyedihkan.
Sumber: dalimunthe.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar